Ijinkan aku memanggilmu.....
Wanita adalah mahluk lemah, yang selalu terpenjara oleh perasaannya, yang menjadi korban dari rasa cintanya, yang akan selalu terluka oleh harapan yang dibuatnya. Apakah Tuhan tidak adil?? Kenapa lelaki tidak dibuat sama? Kenapa selalu wanita yang menjadi pihak penanggung banyak kerugian dalam sebuah hubungan?
Pelajaran pertama yang harus kamu ketahui adalah “Jangan pernah meragukan keadilan Tuhan!”
Ingin sebenarnya aku menolak jabatan itu, terlalu berat. Harus berhadapan dengan senior, menjaga agar tidak terjadi ketidak-adilan, menghentikan mata rantai kekerasan yang diwariskan turun-temurun di kampus.
“Tidak !! Saya tidak sanggup memikul beban berat itu” tegasku
“Akhi, posisi antum sekarang sangat memungkinkan untuk mengambil posisi itu.” Irul coba meyakinkanku
“Kalau memang iya, lantas setelah itu apa? Kita harusnya berpikir jangka panjang. Bukannya mengambil keputusan insidentil, pragmatis yang hanya berefek instant. Kita harus menghemat energy selama satu kepengurusan ini, agar kepengurusan Musholla ini lebih baik!!!.” Sengitku mencoba bertahan.
Syuro hari itu berlangsung sengit, banyak argument yang dilancarkan namun nampaknya sia-sia usaha teman-teman untuk meyakinkanku.
“Antum pernah bilang benci dengan model pengkaderan sekarang kan?” tiba-tiba Nina yang sejak tadi diam bersuara dari balik hijab
“Antum pernah bilang, itu adalah bentuk kedzaliman yang luar biasa bukan? Kalau kita tidak menghentikannya sekarang, kelak hal ini akan terus berlanjut.”
“Ingat akhi, jika seorang Muslim yang melihat kemaksiatan di depan matanya maka hendaklah ia menghentikan dengan Tangannya, jika ia tidak bisa maka hendaklah ia menghentikan dengan lisannya, jika ia tidak bisa maka hendaklah ia menghentikan dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman !!”
“Jika antum mau merubah keadaan itu, maka sekaranglah saatnya. Hentikan mata rantai kekerasan itu” Nina kembali memojokkanku
Saya tidak tahu harus berkata apa. Argumen Nina sudah cukup untuk membuat saya tidak berkutik. Saya menunduk, menghela nafas panjang lalu berkata
“Bismillahirrahmanirrahim, baiklah Saya menerima Jabatan Ketua Ospek”
“Alhamdulillah” jawab teman hampir bersamaan
“Jangan khawatir akhi, antum tidak akan sendiri” Sambil memegang pundakku ilham coba meyakinkan
***
Penerimaan Mahasiswa baru selalu menjadi ajang perpeloncoan terhadap “junior” di kampus merah, sudah banyak korban berjatuhan, sudah menjadi menjadi rahasia umum tapi anehnya hal tetap menjadi tradisi tahunan tanpa ada usaha berarti dari pihak birokrat kampus untuk menghentikannya. Seakan-akan “pembelajaran” singkat ini harus dilalui maba sebagai tanda bahwa dia sudah menjadi mahasiswa. Ajang ini dibuat untuk membuat maba menjadi dewasa dan membuang segala sifat buruknya yang ia bawa dari SMA, padahal tidak ada yang menggaransi bahwa seniornya lebih dewasa dari anak SMA yang baru akan mencicipi bangku kuliah. Bahkan bibit permusuhan terhadap fakultas lain sudah dijejalkan ke kepala para calon akademia muda , maka tak heran Tawuran pun menjadi “trade mark” kampus terbesar di Indonesia timur ini.
Namun semua itu harus dihentikan mulai dari sekarang, setidaknya itu tidak terjadi di jurusan kami, kami sudah berijtihad memutus mata rantai itu, dan teman-teman sendiri mengamanahkan saya untuk memimpin misi ini.
Tapi ternyata memang tidak semudah membalik telapak tangan, rintangan pertama yang harus saya hadapi adalah teman angkatan dan senior tentunya.
“Aalah … tidak usah sok idealislah tiap tahun juga modelnya seperti itu” ucap Eric mengomentari konsep baru yang saya tawarkan
“Ini bukan masalah idealis atau bukan, tapi apa yang selama ini kita warisi itu keliru menurut saya, oleh karena itu konsep ini hadir sebagai alternatif”
“Konsep mu bagus, cuma terkesan terkesan terlalu memanjakan adik-adik” seloroh Rudi
“Maksudmu??”
“Ya… pembelajaran mental tetap diperlukan untuk membuat mereka kuat” tambahnya lagi
“Kalau hal itu Saya tidak sepakat, kita semua pernah belajar ilmu jiwa dan mengintimidasi orang lain tidak akan membuat jiwanya kuat tapi sebaliknya malah akan membuat jiwa mereka kerdil” sengitku
“Lantas caranya bagaimana??”
“Kita ini calon perawat, perlakukan mereka sebagai manusia. Bukankah perawat melihat manusia secara holistik. Jangan sampai prilaku kasar perawat di rumah sakit adalah imbas perlakuan terhadap mereka kampus” sahut irul membelaku.
Perdebatan semakin sengit. Masing-masing kubu tetap bertahan pada pendiriannya. Saya sebenarnya sudah jenuh berdebat dari tadi.
“Begini, Konsep Sudah Saya Presentasikan di depan kemahasiswaan jurusan juga Pembantu Dekan III, bukan hanya mereka setuju tapi juga mewarning jangan sampai terjadi ‘sesuatu’ dalam prosesi ospek ini. JADI KALAU ADA YANG INGIN MERUBAH KONSEP INI SILAHKAN GANTIKAN SAYA SEBAGAI KETUA PANITIA !!!. ucapku dengan nada tinggi
Semuanya terdiam dan hanya saling menatap
***
Pendaftaran ulang mahasiswa baru sudah dimulai, gedung registrasi sudah disesaki calon mahasiswa yang ingin mendaftar ulang. Pengumuman sudah kami pasang, bahwa semua mahasiswa baru keperawatan harus menyetor biodatanya untuk mengikuti prosesi awal penerimaan mahasiswa baru. Selanjutnya panitia ospek secara bergiliran piket di himpunan jurusan untuk menerima mahasiswa yang mengembalikan biodatanya. Walaupun sudah disepakati dari awal bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis harus diminimalkan namun tetap saja ada panitia yang membangkang dengan memarahi calon maba, dalihnya calon peserta yang mengembalikan formulir kurang sopan.
“yang kurang sopan tuh kamu” gumamku
Kalau sudah begini, saya harus turun tangan untuk mengawasi mereka. Suatu ketika saat teman-teman panitia sedang istirahat makan siang, saya masih tinggal di himpunan Karena ada yang harus diketik, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu
“Assalamu alaikum”
“Waalaikum salam” jawabku, tampak seorang berjilbab biru berdiri di depan pintu
“Benar ini himpunan mahasiswa ilmu keperawatan kak?” tanyanya
“Iya, adek mau kembalikan formulir ya?”
“Iya kak, ini formulirnya” sambil menyodorkan selembar kertas
“Jangan lupa hari sabtu datang buat pra ospek, pake kemeja putih dan rok hitam”
“Jilbabnya?”
“Mmm… pake putih aja kali ya supaya matching”
“Makasih infonya kak, saya pamit dulu” ucapnya mohon diri
“Ya silahkan”
“Assalamu alaikum”
“Waalaikum salam”
Gadis itu pun berlalu, sejurus saya memperhatikan biodatanya, caranya berpakaian dan bertutur membuat saya penasaran ingin tahu pribadi anak ini.
“Rani, SMU Samarinda, mantan pengurus rohis” gumamku
“Oo pantes cara berjilbabnya sudah bagus, saya yakin dia akan bergabung untuk memperkuat barisan dakwah dijurusan ini dan… anaknya lumayan manis”
“Astaghfirullah… “ ujarku buru-buru menepis segala pikiran aneh yang berkelebat
Selanjutnya saya larut dalam ketikanku
***
Meskipun dari awal sudah di wanti-wanti agar pelaksanaan ospek bersih dari segala macam tindak kekerasan namun tetap saja terdapat satu-dua pelanggaran oleh panitia hal ini juga diperparah oleh peserta yang kadang melanggar aturan dan sebagainya. Tapi diatas semua itu kami bersyukur bahwa pelaksanan ospek tahun ini jauh berbeda dari tahun lalu, semangat perubahan yang kami wacanakan meskipun diawal banyak mendapat tantangan namun akhirnya bisa merubah cara pikir teman-teman bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang lain. Hal lain yang membuatku senang adalah pujian dari bapak PD III yang menilai peserta dari jurusanku lah yang paling rapi, dengan memakai baju biru dan bawahan putih, mahasiswa baru keperawatan terlihat sangat mencolok diantara devile mahasiswa lain yang berdandan seperti orang gila. Satu kata untuk pelaksanan ospek tahun ini. S.U.K.S.E.S !!
Selajutnya kembali aktivitas sediakala sebagai mahasiswa semester lima yang sibuk dengan tugas lab, juga sebagai pengurus himpunan. Kebagian divisi kemahasiswaan membuatku lebih banyak bereksperimen tentang metode pengkaderan dan juga lebih dekat dengan mahasiswa baru, salah satunya dengan Rani.
Setahun kemudian, seperti prediksiku di awal bahwa dia akan memperkuat barisan dakwah sangat tepat. Banyaknya kegiatan dan kepanitiaan membuatku lebih sering berinteraksi dengannya dan hal itu pula yang menyiksaku.
“Gimana dengan persiapan kegiatan minggu depan akhi?” tanyanya suatu ketika
“Tadi saya ketemu bagian kemahasiswaan, katanya proposalnya bisa dicairkan besok”
“Trus pematerinya?”
“Tinggal diingatkan aja lagi”
“Ok, nanti ana yang cek proposalnya”
“Jazakillah ukhti ya”
“Waiyyakum”
Entah senyawa apa yang dipancarkan akhwat ini yang terkadang membuat saya kikuk di dekatnya, senyumnya kemudian begitu menawan, tiba-tiba ia berubah menjadi sangat kharismatik di hadapanku. Hal yang jujur harus kuakui… Saya menyukainya
Perasaan itu semakin hari kian menggunung, puncaknya di suatu malam saya tidak bisa tertidur karena terus memikirkannya. Di sepertiga malam, aku lalu bangun membersihkan diriku, mengambil wudhu. Malam ini aku berniat mengadukan seluruh perasaan yang menderaku kepada Tuhanku yang saat ini turun sampai sepertiga langit.
Selesai witir dan berzikir, aku duduk bersimpuh dan menengadahkan tanganku menyusun bait permohonan dengan berurai airmata, kiranya Dia mau mendengarkan keluhanku dan mengasihiku
“Ya Allah, sang pemilik kesempurnaan
Hambamu Yang lemah dan hina ini memohon kepadamu
Ya Allah yang maha mengetahui
Engkau tahu masalah yang kuhadapi saat ini
Janganlah engkau menyiksaku dengan perasaan selain kepadamu
Janganlah engkau jadikan cinta kepada mahluk melebihi cintaku kepadamu
Jika ia memang jodohku maka bukakanlah pintumu dan mudahkanlah jalannya
Jika bukan, engkaulah yang maha tahu yang terbaik untuk hambamu
Ya Allah yang maha pengampun
Ampunilah dosa hambamu yang penuh nista ini
Hamba tak tahu lagi kemana mengadu
Jika sekiranya engkau pun meninggalkan hamba
Hamba tak akan meminta engkau mengurangai beban ini
Namun kuatkanlah bahu hamba untuk menerima cobaanMu
Amin
Kututup doaku dengan menghapus air mataku, ada ketenangan yang mengalir dalam perasaan ku setelah mencurahkan segala perasaan ku dalam doa tadi.
***
Sejak malam itu aku bertekad menjadi seorang yang baru, tidak ingin larut dan tenggelam dalam perasaan yang menyiksaku. Aku larut dalam kesibukan yang segaja kubuat untuk sengaja menghilangkan perasaan yang bahkan dulu membuatku insomnia. Aku mulai mengambil jarak dengannya, bahkan mengurangi frekuensi kekampus atau minimal ke perpustakaan hanya karena tak ingin bertemu dengannya lantas membuka kembali lukaku. Toh yang kuhadapi sekarang tinggal skripsi dan saya harus konsentrasi untuk itu. Kalau sesekali bayangannya menggangu yang kulakukan adalah mengusirnya dengan memotivasi diri bahwa saya akan melamarnya setelah lulus nanti.
***
Selesai wisuda dan meraih gelar sarjana saya masih harus melanjutkan dengan pendidikan selama setahun di rumah sakit untuk meraih gelar profesi. Sebentar lagi saya akan sibuk berurusan dengan pasien, dan seabreg tugas yang mesti dikonsul ke dosen. Satu hal lagi karena tidak lagi sering ke kampus sehingga tidak akan bertemu Rani.
Saat sedang asyik menulis rencana perawatan tiba-tiba HPku berbunyi, kulihat penelponnya.. Rani, kuambil nafas panjang lalu sejurus kemudian
“Halo Assalamul alaikum” jawabku
“Waalaikum salam” terdengar jawaban Rani dari sebelah
“Kakak punya waktu buat bicara tidak?” tanyanya
“Bicarakan apa ya?” jawabku penasaran
“Saya mau nanya kak, antum kenal dengan akh Fadli?”
“Hmm Fadli…Fadli.. yang dari fakultas teknik itu?” ujarku
“Bukan, yang dari STAN”
“Oh iya kenal, afwan banyak sih teman ana yang namanya Fadli”
“Menurut antum orangnya gimana?”
“Maksudnya?”
“Jawab saja kak”
“Ya… ana pernah mabit dengannya, tilawahnya bagus, orangnya ramah dan agak lucu gitu”
Tiba-tiba yang terdengar adalah suara isak tangis dari telepon
“Halo… koq nangis?” tiba-tiba perasaanku tidak enak
“Kak… akh Fadli mengajak ana ta’aruf” sesenggukannya terdengar makin nyaring
Jlegg… Aku menelan ludah, samudera perasaanku yang tadinya tenang tiba-tiba berkecamuk, berubah menjadi pusaran air ganas yang siap menenggelamkanku. Tanganku bergetar hebat dan hampir saja HP ku terjatuh. Aku bungkam seribu bahasa, sejenak kemudian yang ada hanyalah hening. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku, ditemani deru nafasku dan isak Rani.
Aku menarik nafas panjang dan mencoba menguasai diriku
“Ya.. ba..gus kan” ujarku gagap
“Bagus apanya kak?”
“Ya…menurut ana tidak ada hal yang membuat anti bisa menolak lamaran akh Fadli”
“Apa..???” seru Rani
“Saya ingin kakak jujur, kakak cinta Rani kan?!!”
Dadaku serasa ditindih beban berat…
“Dari cara kakak memperlakukan Rani, dari cara kakak berbicara dengan Rani Saya menyimpulkan kakak menyukai Rani kan??
“Jawab yang jujur kak!!” ujar Rani setengah berteriak, lalu suara tangisnya semakin jelas terdengar
Rentetan pernyataan Rani benar-benar membuat saya terdesak, Saya seperti terdakwa di pengadilannya yang siap dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Lidahku serasa kelu, saya masih merasa di alam lain ketika Rani kembali membuyarkan lamunanku dengan pertanyaannya.
“Jawab Rani Kak!!!”
“Kalau emang iya, apa yang harus saya lakukan?” entah mendapat kekuatan darimana saya bisa menjawab seperti itu
“Rani cuma minta kakak jujur kepada diri sendiri, berani memperjuangkan perasaan kakak dan berhenti jadi pengecut” kembali Rani menghakimiku
“Baiklah ana akan jujur, Ana menyukai anti sejak pertama kali kita bertemu, ana harus akui itu !. Antilah satu-satunya akhwat yang membuat ana menangis di sholat malam dan memohon untuk melupakan anti!”
Rani masih terisak
“Lantas dengan alasan itu, apakah boleh ana meminta anti menolak ajakan akh Fadli lalu menunggu lamaran ana? Itu yang anti mau?!!!”
Rani terdiam, yang ada hanyalah sesenggukannya
“Ana akan seperti menikam teman dari belakang jika berbuat itu. Yang ana tahu Rasulullah melarang meminang perempuan yang sedang dipinang oleh saudaranya!!”
“Jadi sekarang ana akan mempertegas pernyataan ana. Tidak ada hal menurut ana yang bisa membuat anti menolak lamaran akh Fadli, toh kembali anti yang akan menentukan”
“Terserah anti menganggap ana pengecut ataukah pecundang, tapi akan menjadi lebih pengecut lagi kalau ana mendzalimi saudara ana sendiri”
***
Percakapan ditelepon itu adalah percakapan terakhirku dengan Rani. Entah saat itu saya menjadi pria paling berani ataukah pria paling bodoh karena merelakan akhwat yang kuidamkan menjadi milik pria lain. Yang jelasnya sebulan kemudian aku menerima sebuah undangan biru yang cantik bertuliskan Walimatul Ursy Fadli Jafar dengan Maharani Salsabila. Perasaanku remuk, ingin rasanya aku berlari ke pantai dan berteriak sekencang-kencangnya. Mengadu pada debur ombak bahwa betapa bodohnya aku.
Saya berhalangan ke Pesta walimahan itu karena bertepatan dengan jadwal jaga ku di rumah sakit. Entahlah ketidak hadiranku karena uzur itu ataukah karena tahu bahwa saya tidak akan sanggup melihat wanita dambanku bersanding dengan pria lain. Saya Cuma bisa menghibur diri dengan mengatakan jika ada cinta yang bisa kubagi saat ini, maka cinta itu adalah kepada pasienku, kepada orang-orang yang tergolek lemah di rumah sakit yang menanti uluran tanganku. Sembari menyusun kembali kepingan mozaik perasaanku yang berserakan tak beraturan.
Menjelang dini hari kembali saya mengadu ke ribaan sang khalik, menyusun untaian permohonan akan seluruh salah khilaf
Ya Allah Ya Azis
Tiada sia-sialah engkau ciptakan jagad raya ini
Maha suci engkau
Engkau pemilik semesta alam
Ya Allah Ya Rahim
Engkaulah yang paling tahu hal terbaik untuk hambamu
Engkau telah menegurku agar tak melupakan cintamu
Dan aku yakin Ya Hakim
Bahwa engkau telah menyiapkan jodoh terbaik untukku
Bahwa engkau telah menyiapkan bidadarimu untukku
Dan dengan bangganya akan kupanggil dia… Istriku
Currently have 0 komentar: