Smile like Monalisa
Raut mukanya mendadak berubah merah padam, ada luapan emosi yang berusaha ia tahan ketika ditanya tentang keluarganya, akhirnya gemuruh dalam dadanya tak tertahankan, bendungan di sudut matanya pecah dan menumpahkan semua isinya, saya cuma bisa terdiam sembari sedapat mungkin memberikan empati atas kisah hidup seorang gadis yang ia rangkai kembali dalam ceritanya.
Monalisa, demikian ia memperkenalkan namanya. Terlahir sebagai anak yang tanpa dosa seperti halnya anak lain yang ditakdirkan bisa menghirup nikmatnya udara dunia, namun sepertinya sang dewi fortuna masih enggan tersenyum dan menyapanya. Tidak pernah melihat wajah orangtuanya, karena ditinggal pergi sang ayah, tak lama setelah melahirkan sang ibu pun menyusul jejak sang ayah mengadu nasib di negeri orang sebagai tenaga kerja asing tanpa mengirim kabar sepatah kata pun. Jadilah sang Monalisa hidup dalam kasih sayang neneknya.
Kehadiran orang tua bukan hanya untuk memberi nafkah bagi anak-anaknya tapi juga mengisi profil keteladanan sebagai pria dan wanita dewasa yang menjadi panutan bagi kehidupannya, tentu saja juga sebagai samudera kasih sayang tempat sang anak berenang jika ingin sejenak melepaskan penatnya dari beban dunia. Sayang bagi monalisa, penjelasan diatas hanyalah sebuah utopia yang terlalu tinggi, jangan kata dinafkahi, menjadi teladan, mendapat belaian kasih sayang bahkan untuk mengingat seperti apa rupa orang tuanya ia tidak bisa, ia masih terlalu kecil saat ditinggal sehingga mustahil untuk mengingatnya, jadilah ia tumbuh seperti kaktus di ladang sahara, bertahan dengan bekal seadanya dalam mengarungi kehidupan dan tak berharap hujan turun mengobati kehausannya.
Monalisa adalah anak yang supel, pandai bergaul, membuat orang senang dan tertawa jika berada di dekatnya, namun bagi orang yang mampu melihat jauh kedalam sanubarinya, hal tersebut adalah sebuah kompensasi dari luka yang menganga dalam jiwanya, bahwa itu adalah mekanisme yang mendorongnya bersikap karena profil dan kasih sayang orang tua yang tidak pernah ia dapatkan, dan berusaha ia cari serta menemukan perhatian dan kasih sayang di setiap orang yang ia jumpai.
Monalisa hanyalah satu dari sekian banyak potret bunga bangsa yang menjerit minta diperhatikan oleh tirani sang penguasa, entah teriakannya yang terlalu kecil ataukah membrane timpani kaum borjuis eksekutif sudah kebal sehingga teriakan seperti itu tak berpengaruh lagi baginya, sepertinya bagi mereka melayani permintaan “Paman Sam” dengan dalih perang global melawan terorisme jauh lebih penting daripada mengurusi perut rakyatnya yang merintih karena kelaparan ataukah mencerdaskan anak bangsa seperti yang diamanahkan para pendiri bangsa ini dalam pembukaan undang-undang dasar. Ah… tidak ada gunanya mengutuki bangsa ini, karena kita pun ada di dalamnya dan mungkin berkontribusi terhadapnya. Tidak produktif mengutuki dan memaki jika tersesat dalam kegelapan harusnya kita menyalakan lilin dan mencari jalan keluar
Singkat cerita dengan segala latar belakang hidup serta kemampuan akademik yang mumpuni monalisa akhirnya di terima di barisan “panitia orang sukses Indonesia”, ia kini punya rumah baru bernama “kampus alternative” tempat ia berbagi cerita tentang hari yang dilauinya dengan belasan anak lain yang bernasib mirip dengannya. Monalisa kini bisa tersenyum ceria dan kembali merajut mimpinya di salah satu bangku universitas terbesar di Indonesia timur tepatnya bersama para akademia hipokrates.
***
Kami berharap seiring berjalannya waktu bisa mengobati luka monalisa dan memang hasil psikotestnya menyarankan ia menemukan lingkungan ideal, kami bermimpi bahwa kamilah keluarga baru yang bisa menyembuhkan lukanya walau kami yakin itu butuh waktu, namun ada hal yang di luar kuasa kami, monalisa meminta lebih dari yang kami bisa berikan, sifat manjanya terkadang berlebihan, cenderung keras kepala dan susah diatur. berbagai macam laporan tindakannya kami terima namun kami masih berharap dia bisa memperbaikinya karena ada latar belakang hidupnya, trauma masa lalu yang membentuknya sehingga berprilaku seperti itu, hal lain bahwa kondisi ekonomi keluarganya carut marut sehingga hal tersebut kami masih toleransi dan hanya memberi peringatan.
Namun laporan terakhir terlalu parah, diantar pulang keasrama jam 2 malam, berteriak minta dibukakan pintu dan menantang pendamping untuk menjatuhkan sanksi, semuanya itu sudah cukup bagi kami untuk mengambil sebuah keputusan hal ini harus diakhiri sebelum menjalar ke adek yang lain. malam itu monalisa harus mengakhiri kisahnya bersama keluarga besar Green light community, keputusan sulit namun itu yang harus diambil.
yang aneh malam itu monalisa tersenyum, ya… dia tersenyum… entah apa arti senyuman itu, dalam kondisi menerima hukuman dia masih bisa tersenyum, apakah itu seperti fenomena Amrozy yang tersenyum ketika dijatuhi hukuman mati? yang membuat gregetan orang Australia sehingga dijuluki the smiling bomber? setelah kejadian itupun ketika berjumpa dia masih tetap tersenyum, tidak berubah, sama seperti senyum saat diterima menjadi bagian dari kami, saya pun berusaha tersenyum namun itu saya paksa untuk menghargai senyumnya.
Satu hal yang menggelayut di pikiranku… bisakah kami tersenyum seperti Monalisa…?
Monalisa, dimanapun engkau berada, apa pun aktivitas mu sekarang kami masih berharap engkau menjadi manusia yang lebih baik
wallahu alam
Diiringi instrumentalia Elegance of pachelbel akhirnya selesai menjelang maghrib
Tamalanrea 160410
Currently have 0 komentar: