Jilbab di pelukan USA
Tulisan ini bukanlah dukungan buta kepada pemerinta Amerika serikat, pemilik blog ini pun bukan antek-antek negeri Paman Sam. Sekali lagi tulisan ini sebuah bentuk penegasan betapa kita telah terlalu lama merindukan bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukan, mampu mengayomi seluruh anak negeri, hingga suatu saat kita tak perlu minder ketika berhadapan dengan negara lain, hingga suatu saat ketika orang berbicara maka yang terdengar adalah "Lihatlah Indonesia" dan hingga suatu saat kita dengan bangganya berbicara bahwa "Aku adalah Indonesia"....
Catatan suka-duka dunia kerja di USA)
Menapakkan kaki yang entah ke berapa puluh kalinya di sana - selalu ada rasa
itu. Rasa yang sulit untuk dijabarkan seperti ketika membaca tulisan
Office of the Immigration Judge tertatah di marmer hitam itu. Marmer dingin
itu pernah aku duduki sampai petugas keamanan menghampiriku, melarangku
duduk di sana. Tersipu malu ketika menyadarinya, dengan kata maaf kuseret
tas kerjaku dan pindah duduk ke kursi taman. Beberapa perahu cantik dengan
tenang melintas di sungai besar di tepi gedung pengadilan imigrasi Miami di
pojokan One River View Square itu, seolah tak perduli pada sibuknya
wajah-wajah lalu lalang yang silih berganti melewati pintu penjagaan.
Wajah-wajah itu tak beda banyak dengan wajahku, berkulit coklat hangat -
juga seperti kulitku. Wajah-wajah Hispanic seperti wajah-wajah anak
negeriku itu terasa begitu dekat di hati.
Kuhabiskan Cuban coffee yang kubeli dari café di dalam ruang tunggu dan
kulirik jam tanganku. Sudah waktunya untuk masuk ke ruang sidang. Di
lantai tujuh ada satu ruang besar khusus untuk para penerjemah, tapi setiap
aku menengok ke ruangan itu selalu saja gelap dan sepi. Akupun jadi lebih
suka menunggu di luar gedung pengadilan di tepian sungai sambil minum kopi
khas Miami dan memandangi perahu yang lewat, melamun dan mereka-reka apa
kiranya kasus yang akan disidangkan pada hari itu.
Kebanyakan kasus orang Indonesia adalah over stay karena masa berlaku visa
yang sudah kadaluwarsa. Banyak orang yang bertahan untuk berada di Amerika
sampai melewati batas waktu yang diberikan. Krisis moneter yang menggoncang
ibu pertiwi beberapa tahun silam adalah salah satu penyebab utama kenekatan
mereka. Banyak yang mati-matian mempertahankan kenyamanan bekerja di
negeri Paman Sam ini meski itu secara illegal. Meski itu harus
kucing-kucingan dengan FBI dan petugas negara lainnya. Akibatnya, ketika
harus duduk di ruang pengadilan imigrasi, sebagian besar dari mereka
dideportasi karena melanggar hukum dan aturan yang berlaku di negeri ini.
Untuk menghindari kemungkinan dipulangkan itu, banyak yang meminta suaka
politik dengan mengacu pada rentetan tragedi 1998 antara lain pemerkosaan
wanita-wanita keturunan Cina, pembakaran gereja-gereja, diskriminasi
terhadap kaum minoritas, penembakan mahasiswa universitas Trisakti dan
reformasi yang mengawali lengsernya kepemimpinan pemerintah orde baru.
Sementara itu dari sudut Amerika sendiri tragedi 911 telah meluluh lantakkan
kepercayaan Amerika pada dunia luar dan khususnya pada negara-negara
berbasis Islam. Bila keadaan ini dihubungkan dengan politik luar negeri
dan situasi keamanan Indonesia, maka peristiwa pemboman yang beruntun dari
bom di Bali, bom di hotel Marriott, bom di kedutaan Australia, dan bom di
Bali yang lebih besar lagi - dan entah daftar perilaku kebiadaban yang
menewaskan orang tak bersalah yang mana lagi - mengakibatkan negeriku masuk
daftar 25 negara yang dicurigai sebagai "sarang" teroris. Sungguh fakta
sejarah kelabu negeriku yang menyesakkan hati.
Pemikiranku tentang kekalutan politik Indonesia dan terorisme langsung
lenyap ketika mataku tertuju pada kursi di sebelah kursi pengacara.
Seorang wanita muda, kurus kecil dan tampak pucat sepucat jilbabnya, duduk
di kursi itu. Kepalanya tertunduk memandangi jari-jarinya yang berkaitan
satu dengan lainnya. Dari bahasa tubuhnya yang resah dan gelisah, ia
kelihatan takut dan tak nyaman duduk di kursi kulit warna merah marun gelap
dan berada di ruangan pengadilan yang dingin itu.
"Nama saya Neneng, asal dari Cianjur. Usia tujuhbelas tahun. Orang tua
saya miskin dan tidak punya pekerjaan. Waktu saya umur 12 tahun saya dijual
oleh orang tua saya kepada tetangga dengan bayaran limapuluh kilogram beras.
Lalu saya dibawa ke agen tenaga kerja di Jakarta. Setelah training bahasa
Arab dan pekerjaan rumah tangga lainnya saya dikirim ke Arab Saudi untuk
menjadi pembantu sebuah keluarga dengan lima anak kecil-kecil. Tadinya
saya senang karena saya kira saya akan punya kesempatan untuk menunaikan
ibadah haji. Tapi ternyata majikan saya mendapat pekerjaan di sini maka
sayapun dibawa ke negeri ini."
Ruangan hening. Semua pertanyaan dari hakim dijawabnya dengan suaranya
yang pelan dan terdengar gemetaran.
"Majikan saya punya adik yang berdekatan apartemennya. Mereka juga punya
anak lima yang seusia dengan anak-anak majikan saya. Tiap hari mereka
datang ke apartemen kami, dan saya harus mengasuh dan menjaga semuanya.
Total sepuluh anak. Kalau ada anak yang berkelahi, jatuh atau terluka,
maka saya dipukuli, ditendang, atau ditampar oleh majikan saya. Kadang
pakai sepatu, pakai kayu, pakai tangan atau apa saja yang bisa dipukulkan ke
badan saya. Kadang anak-anaknya juga memukuli saya, meniru ibunya. Sampai
akhirnya saya tidak tahan lagi dan waktu mereka tidur saya lari ke masjid di
dekat apartemen mereka." Suara Neneng putus-putus menahan isak. Sesekali
ia mengambil nafas kala suaranya mulai menyesak di lehernya, dan
berulangkali mengusap mata basahnya dengan ujung jilbab putihnya.
"Dan di masjid itu kamu bertemu dengan istri bapak ini?" Tanya hakim seraya
menunjuk pada seorang lelaki setengah baya, dokter anak dari Mesir - yang
duduk di bangku panjang di belakang ruangan, mengikuti jalannya persidangan
dengan tenang.
"Ya. Dan istri bapak ini membawa saya ke rumahnya, dan sampai sekarang
saya tinggal bersama mereka dan belum kembali ke rumah majikan saya. Saya
takut kembali ke sana lagi. Saya takut dipukuli lagi. Saya tahu saya
salah karena melarikan diri dari rumah majikan saya. Saya mau dihukum
penjara, tapi tolong jangan kembalikan saya pada majikan saya." Tanpa bisa
dihentikan, Neneng menangis tergugu. Hakim sesaat terpaku sebelum
memberikan waktu istirahat setengah jam, lalu menyelinap ke luar ruang
sidang.
Neneng adalah wajah dalam cermin kemiskinan negeriku. Refleksi bayangan
ketidak mampuan bangsaku untuk mengayominya dan keluarganya. Ekonomi carut
marut negara memaksa anak sebelia itu untuk jadi tenaga kerja di negeri
orang. Tanpa digaji, malah disiksa. Ternyata jiwa perbudakan di mana-mana
masih juga ada! Pikiran Neneng sangat sederhana. Yang dia tahu orang
tuanya sudah melakukan transaksi jual beli atas dirinya. Ada sebersit
harapan sewaktu datang ke Arab Saudi untuk bisa menunaikan ibadah haji.
Meski seumur hidup hanya sekali. Menginjakkan kakinya di tanah suci adalah
hal yang sungguh tak ternilai dalam hidupnya. Dan bila ketidak
mengertiannya bahwa kepergiannya ke Arab Saudi itu tak ada hubungannya
dengan naik haji karena ia adalah pembantu rumah tangga yang tak punya hak
diri, itu tanggung jawab siapa?
Negeriku adalah negeri yang konon bangga dengan jumlah Muslimnya yang
terbesar di dunia. Tapi apakah jumlah itu punya daya, mampu memberikan hak
dan perlindungan pada anak-anak seperti Neneng dan jutaan Neneng lainnya?
Aku tercenung lama dan terbersit tanya, kapan negeriku yang gemah ripah loh
jinawi bisa memberikan ketentraman pada anak-anak bangsanya sendiri,
sehingga tak perlu mereka mencari dan mengais rejeki di negeri orang.
Sebagai anak bangsa Indonesia aku sungguh malu. Tapi sesungguhnya adakah
pilihan itu? Andaipun ada, Neneng tak pernah memiliki pilihan itu.
Amerika tak bisa dipungkiri - adalah negara yang dibenci banyak negara lain
di dunia. Ia dikutuk! Dihujat! Dimaki! Tapi seiring dengan itu Amerika
juga adalah bangsa yang dicintai, perlindungan dan keamanannya dicari,
stabilitas ekonominya diingini. Dan dengan seribu satu macam alasan dan
tujuan, manusia dari seluruh penjuru dunia berlomba untuk hijrah ke negara
ini. Dan rasa yang kulihat di wajah-wajah bertaburan keluar masuk di pintu
pengadilan imigrasi itu adalah rasa yang berkecamuk antara harapan untuk
menetap, bekerja keras dan berpenghidupan yang lebih baik di Amerika atau
harus pulang dan tak tahu kehidupan apa yang menanti di negara asalnya
masing-masing.
Kasus Neneng, bukanlah kasus di mana orang yang ketahuan overstay lalu minta
suaka dengan merekayasa cerita tentang kebobrokan bangsa atau kebiadaban
manusia di tanah air. Kasus Neneng bukanlah kasus di mana dia ingin
mendapatkan green card dan visa kerja di Amerika - sementara apa itu green
card dan apa itu social security Neneng tak pernah tahu dan dengar. Kasus
Neneng, adalah akibat penjajahan, kemiskinan dan kebodohan yang makin
merajalela di negerinya, yang juga adalah negeriku. Dan Amerika pun dengan
tulus memunguti serpihan luka yang berhamburan di benuanya ini dan
melindungi Neneng ini dan Neneng-Neneng lainnya dalam rengkuhan senyum tipis
Lady Liberty yang bersahaja tapi sarat makna: Give me your tired, your
poor.
Hakim kembali ke ruang sidang siap dengan keputusannya, atas nama negara
Amerika. Kudengar suara lembut keibuannya yang tak pernah kubayangkan akan
terdengar dari sidang pengadilan seperti ini ketika Neneng memberikan
persetujuannya dijadikan anak negara. Neneng diberi hak untuk bersekolah
dengan biaya negara, diberikan pekerjaan dengan gaji minimum, mendapat
tempat tinggal, diberi jaminan pelayanan kesehatan seumur hidupnya. Dan
Neneng diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
Terdengar dokter Mesir itu membisikkan puji syukur, "Allahu Akbar"
Sore itu, sementara menunggu taksi untuk kembali ke bandara udara, dengan
hati menyesak rindu pada kampung halaman kuguratkan tulisan di lembar kertas
kuning lagu yang kuingat sebagai penutup acara televisi di masa kecilku,
"Tanah airku Indonesia . Negeri elok amat kucinta. Tanah tumpah darahku
yang mulia. Yang kupuja sepanjang masa. Tanah airku aman dan makmur. Pulau
kelapa yang amat subur. Pulau melati pujaan bangsa sejak dulu kala. " dari
tempat dudukku di tepian sungai di sudut One River View Square.
Dan Neneng, sekuntum melati bangsaku yang tak pernah hidup dalam negeri yang
aman dan makmur itu kini jauh dari Indonesia, negeri elok yang hanya ada
dalam lagu penutup acara di tivi itu. Hari ini dan hari esoknya bergantung
pada belas kasih dan perlindungan negara ini. Ketika kulihat taksiku datang
aku segera beranjak. Sekilas kuletakkan tanganku di marmer hitam di depan
gedung pengadilan imigrasi itu. Dan bayangan wajah bercahaya Neneng yang
berjilbab putih mengenakan toga dan merengkuh selembar diploma di tangannya,
dengan latar belakang bendera Amerika - melintas di mataku yang mulai
berembun.
Dari Milis tetangga
Currently have 0 komentar: