Latest News

Sahur on the road

Jumat, 01 Januari 2010 , Posted by Lentera at 01.16

“Terima kasih nak” demikian ucap tulus Imam Mesjid Nurul Iman. Saat mengantar kami pulang. Kutatap sorot mata Tua yang bijaksana itu, sarat makna. Ada hal besar yang sebenarnya ingin beliau ucapkan, hal yang tidak terwakili hanya dengan seuntai kata terima kasih. “Terima kasih sudah singgah di dusun kami” ucapnya lagi, membuyarkan lamunanku “Sama-sama pak” ujarku reflex “Pamit dulu pak, Assalamu alaikum” ujarku lagi

Sore tadi di rumah Ketua RT, setelah memperkenalkan diri. Kemudian kami menyampaikan maksud kedatangan tersebut. “Insya Allah sahur sebentar mauka’ sahur bareng bersama warga sini pak. Sekarang mohon izin memangka’ sama kita’ selaku pemerintah setempat untuk kelancaran kegiatan kami” “Sahur? Kenapa bukan buka puasa?” Tanya Pak RT dengan mengernyitkan dahi. “Kalo buka puasa banyakmi yang adakan, mauki’ sesuatu yang beda. Begitu memang mahasiswa Pak” jawabku dengan sedikit berdiplomasi. “O.., jadi jam berapaki’ mau datang” “Kira-kira jam tiga pak, Insya Allah”

Sahur on the road merupakan program nasional beastudi Etos, di Makassar sendiri mungkin lebih tepat kalo dikatakan sahur on the spot. Banyak elemen kampus menyelenggarakan kegiatan serupa dengan membagikan makanan di sepanjang jalan protokol kepada pengemis ataupun tukang ojek dan daeng becak. Olehnya itu untuk membedakan dengan mereka, kami lebih mengkonsentrasikan kegiatan sahur di kantong-kantong kemiskinan, tentunya dengan menggandeng donator lokal.

Kriiiiiiiiiiiing, bunyi jam wekerku panjang membelah kesunyian malam. Dengan malas kuraih sumber berisik tadi. Sejenak kucoba mengumpulkan serpihan kesadaranku lalu kutatap jam tadi. Jarum pendek berhenti dipertengahan angka dua dan tiga.

“HAH.., KURANG LIMA BELAS JAM TIGA !! ujarku setengah berteriak. Dengan setengah limbung kusambar handuk lalu bergegas menuju kamar mandi, sekedar cuci muka, mengeksitasi kembali sarafku yang belum lama istirahat. “Belumpi bangun kayaknya anak-anak ini” gumamku

“Woii… bangunmako semua, mauki’ pergi sahur on the road, jam tigami !!” dengan sedikit kasar kugedor jajaran pintu kamar etoser. “Mana Ancu??” tanyaku “Udah pergi kak, jemput makanan di warung dari tadi” jawab Fahmi, ternyata sudah bangun duluan ‘Trus manami tranportasinya?” “Ini lagi disuruh nungguin, kak Didik yang stand by di depan” jawabnya lagi. Fahmi, urang bogor nu nyasar kuliah ka Makassar. Sudah setahun tapi logat sundanya belum berubah, terkadang jadi bahan olokan anak asrama.

Jam tiga Pas, semuanya sudah berkumpul. (Tumben cepat,tidak biasanya mereka kayak gini) “Pagi ini kita akan sahur on the road di dua tempat, pertama di Kelurahan Cambayya, bekas lokasi kebakaran dan dusun Keyra-keyra samping UNHAS, jadi kalian akan dibagi menjadi dua tim. Sampai disana yang harus kalian lakukan adalah perkenalkan diri kalian, berbaur dengan masyarakat dan sedapatkan mungkin dapatkan gambaran tentang kondisi mereka. JELAS!!” Tegasku saat memberi briefing

Jam 3.15, cobaan pertama datang. Belum ada tanda tim konsumsi dan transportasi datang.

“Gimana nih??” gumamku. Rasa perih di lambungku menunjukkan psikosomatis, pertanda cemas ringan mulai melanda Kuambil HP di kantongku, sejurus kemudian “Halo.. Ancu, manami mobilnya?? Tanyaku “Kak Anwar yang uruski” terdengar dari HP seberang “Kenapa belumpi paeng datang??” tanyaku lagi “Sudahmi saya hubungi kak, tungguimaki' bedeng” jawabnya membela diri

Jam 3.30 mobil pertama dan hanya itu yang datang “Karena lokasinya jauh, tim Cambayya berangkat sekarang, tim dua tunggu mobil selanjutnya” ujarku

Sepuluh menit berlalu belum ada tanda mobil yang dijanjikan “Jalan kaki maki’ saja kak” usul Warka tiba-riba “Jauhki itu kaue tempatnya, nantika imsakmi??” jawabku “Masih mendingan itu kak, daripada menungguki’ tanpa kepastian” ucapnya lagi Benar juga, pikirku “OK kita berangkat”

Masya Allah semangat adek-adek hari itu, dengan bermodalkan semangat, berpacu dengan waktu, membawa makanan sahur ke tempat tujuan. Melewati rumput gajah setinggi dua meter dan tanpa penerangan jalan, bukti betapa terisolasinya tempat itu. Sepanjang jalan kami berdo’a “Ya Allah, Demi niat suci ini berikanlah kekuatan-Mu agar kami bisa tepat waktu.”

3.55 kami tiba dilokasi. Lumayan cepat waktu tempuh kami, mengingat jarak yang ditempuh + 2.5 kilometer. Di batas desa Rupanya Pak RT dan beberapa tokoh masyarakat sudah menantikan kedatangan kami.

“Maaf pak kami terlambat” “Tidak apa-apa dek, mari ke mesjid, Pak Imam sudah ada disana” kata pak RT seraya mengantar kami ke mesjid. Salah seorang remaja mesjid lewat mirofon mengumumkan kedatangan kami. “Cukup ji ini kah?” bisikku lirih ke salah seorang etoser. Mengingat persiapan kami hanya untuk 100 orang. “Ndak tau’mi kak, mudah-mudahan” jawab Pastari Subhanallah, antusiasme warga yang sudah menjejali mesjid menyambut kedatangan kami.

Dusun Keyra-keyra adalah bukti kesenjangan pembangunan. Kawasan miskin pinggiran kota. Hampir seluruh warganya adalah “korban” pembebasan lahan UNHAS. Terasing, disamping tumpukan bangunan beton universitas yang katanya terbesar di Indonesia bagian timur itu. Saat disana, kita tidak akan berkhayal bahwa kita sedang di Kota Pisa Italia, menyaksikan bangunan miring, rumah panggung dari kayu dan bambu beratapkan rumbia, masih jadi menu wajib perkampungan itu. Dikelilingi rawa membuat air disana berwarna dan berbau, singkatnya tidak layak konsumsi, hanya mendapat subsidi air bersih dari PDAM dua kali seminggu. Ditambah debu tanah gersang semakin menambah kesan kedhuafaan dusun tersebut. Miris, Kontras, bersanding dengan UNHAS yang berdiri angkuh.

Ya Allah, hari ini kami belajar mensyukuri nikmat yang Engkau beri Ya Allah, rahmatilah niat baik para muzakki yang berusaha mengeluarkan umat ini dari kebodohan dan ketertinggalan Ya Allah, kami memohon padamu akan indahnya silaturahmi. Engkau berikan saudara untuk berbagi dan kami doakan dari jauh. Kami banyak meminta kepadamu Ya Allah Engkau tidak mengabulkan permohonan kami, namun selalu memenuhi kebutuhan kami Mahasuci Engkau Ya Allah, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia.

Sehabis subuh, saat jelas antara benang putih dari benang hitam, kami mohon diri. Ada seberkas kebahagiaan melihat senyum tulus dan terima kasih warga. Dalam perjalanan pulang salah seorang etoser nyeletuk

“Seru juga kak di’, jalan-jalanta’ hari ini” “Iya, masih mending daripada tidur pagi ko semua” sahutku yang disambut derai tawa adik-adik Sang etoser tadi hanya bisa tersipu malu.

Tamalanrea, 26 Ramadhan 1428 H

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar