Latest News

Kenang kenanga

Minggu, 03 Januari 2010 , Posted by Lentera at 18.22

Love of my life don’t leave me You broken my heart and now deserve me Love of my life can’t You see Bring it back Bring it back Don’t take it away from me because You don’t know what it means to me

Jarum jam berhenti berdetak, waktu serasa berhenti berputar dan jagad raya pun seakan terdiam, ikut mendengarkan sebuah nyanyian tulus seorang perempuan yang mengungkapan perasaan hatinya. Hari itu Nina dengan anggunnya memakai baju pink dipadu dengan bawahannya yang berwarna krem, rambut lurus yang tergerai indah membuatnya semakin mencolok diantara temannya. Lagu scorpion dibawakannya dengan penuh penjiwaan, karena merasa lagu itulah kisah hidupnya. Sayang, Nina melantunkan lagu tidak diiringi tepuk tangan meriah karena dia tidak sedang bernyanyi di café, bukan pula diatas panggung, namun di sebuah ruangan bernama kenanga, salah satu bangsal intermediate di rumah sakit jiwa. Ya hari itu Nina dan rekan-rekannya sedang mendapatkan terapi aktivitas kelompok dari kami mahasiswa praktek profesi Ners Unhas, sebuah terapi yang di berikan bagi penderita halusinasi yang mulai bisa diajak bekerjasama. Hari itu dengan tulusnya Nina menceritakan kisahnya, tak sedikit pun kilatan kebohongan di bening indah matanya, pandangannya yang kosong menyiratkan derita yang ia tanggung, wajah ayunya pun sudah lenyap ditelan beban duka yang rasakan selama ini. Nina pernah menyandarkan bahtera perasaannya pada sebuah pelabuhan hati, berharap ia menjadi persinggahan terakhirnya, berharap ia menjadi temannya mengarungi samudera kehidupan, tempat bernaung ketika ia lelah, menjadi sahabatnya bercerita dan berbagi hari yang telah dilewatinya. Namun sang belahan jiwa ternyata akhirnya memilih berlayar dengan nakhoda lain, meninggalkan Nina yang hancur dilamun ombak harapan yang dibuatnya, terlalu berangan-angan malah tidak mendapatkan apa-apa. Nina seakan tidak percaya kejadian yang menimpanya, ingin tampak tegar namun menderita nelangsa tak berkesudahan. Terlalu sakit, terlalu dalam sampai terekam kuat di alam bawah sadarnya dan membelah jiwanya. Tanpa sadar dia membuat teman fantasi yang setia menemaninya, yang ia bisa ajak bercerita, yang ia yakin tidak akan meninggalkannya. Prilakunya semakin aneh, ia kadang berbicara, tertawa dan menangis tanpa sebab. Dia mengaku melihat adiknya yang sudah meninggal dan dia bahkan mengaku sering diajak kencan oleh pacarnya yang sebenarnya sudah menikah dengan orang lain. Sikapnya yang periang berubah menjadi pemurung, yang ramah tiba-tiba mudah tersinggung, tidak mau makan, tidak mau minum dan mengunci diri dalam kamar. Hal yang kemudian membuatnya terdampar di sebuah ruangan yang sebenarnya lebih mirip penjara daripada bangsal perawatan dengan diagnosa Schizofrenia

***

Kisah Nina hanyalah satu dari sekian penghuni setia “Villa Lanto Dg pasewang”. Tak terlihat kekurangan satupun dari luar namun sebenarnya api sekam melahap jiwa perlahan-lahan. Tak mampu mengatasi problem hidup, tak kuasa keluar dari masalah akhirnya berujung pada gangguan jiwa. Hal tersebut diperparah dengan pengetahuan minim masyarakat tentang bagaimana mengenali dan mencegah dini terjadinya penyakit jiwa, yang terjadi kemudian adalah stigma bahwa penyakit ini adalah aib maka tak jarang klien yang datang dibawa ke “Hotel belakang sahid” adalah klien kronis dengan riwayat kriminal, mengamuk, melukai orang, membakar rumah, keliling kampung tanpa busana dan bahkan menghilangkan jiwa manusia. Mungkin masih segar ingatan kita, bagaimana seorang ayah tega menghabisi nyawa istri dan anaknya beberapa tahun lalu di Kabupaten Pangkep hanya karena “merasa ada orang yang menyuruhnya”, bagi masyarakat di sekitarnya berkembang opini bahwa sang bapak tadi penganut aliran tertentu dan semua korban adalah tumbal dari bisikan gaib sang empunya, bagi kami inilah yang disebut halusinasi, suatu kondisi dimana seseorang merasa mendengar, melihat atau merasakan sesuatu tanpa ada stimulus yang sebenarnya.

***

Tujuh puluh persen klien yang dirawat disini adalah klien kambuhan. Membaik setelah dibawa pulang namun kembali sebulan kemudian dengan kondisi yang sama. Bukan sebuah kebanggaan bagi kami para perawat ketika para klien kambuhan berteriak “Ners, datang ma seng !” karena kami tahu ada yang salah dilingkungan tempat tinggalnya. Ketika klien dinyatakan sembuh dan dijemput pulang keluarganya, sesampai di rumah dan lingkungannya, tetap diperlakukan sebagai orang sakit, dijauhi atau tidak dibiarkan oleh keluarganya bersosialisasi, dikurung, dipisah kamar maupun tempat makannya, tanpa dukungan, alhasil kesendirianlah yang menemaninya dan kembali mengantarkannya ke tempat semula. Ataukah klien abadi di rumah sakit, yang sembuh pun sudah tidah dijemput lagi oleh keluarganya bahkan sampai menulis alamat palsu agar tidak di datangi petugas rumah sakit. Jadilah klien ini inventaris rumah sakit menambah sesak jumlah penghuni bangsal. Tiga bangsal perawatan diisi oleh + 300 klien dengan jumlah tenaga per shift jaga cuma tiga orang, sungguh jumlah yang sangat tidak logis. Bayangkan, Seorang perawat menangani 30 orang !!!. Hasil riset WHO tahun 2000 mengatakan, dari populasi masyarakat terdapat 10 % yang mengidap gangguan jiwa dan 10 % diantaranya mengalami gangguan jiwa berat. Jadi jika penduduk Sulawesi Selatan berjumlah 5 juta jiwa berarti 500 ribu diantaranya mengidap gangguan jiwa dan 5000 orang mengidap gangguan jiwa berat, sedangkan yang terdaftar di rumah sakit hanya 300 orang, pertanyaannya dimana sisanya? Mungkin yang sering kita lihat berkeliaran di jalan?, mungkin ada di sekitar kita?, atau mungkin kita sendiri sudah mengalami gangguan jiwa berat tanpa kita menyadarinya. Bahkan dengan jualan kesehatan gratis pemerintah propinsi tidak membuat perbaikan berarti di sektor kesehatan jiwa. Ah, negeri ini sudah seperti benang kusut, terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan dan kesehatan jiwa bagi pemerintah mungkin bukan menjadi perkara penting yang harus diselesaikan, padahal sejak SMP kita sudah didoktrin oleh guru penjaskes dengan pepatah “Men sana In corpora sano” dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Kalau jiwanya yang sakit apakah tubuhnya akan sehat? Selamat datang di negeri seribu ironi.

***

Hari ini aku bangun menantang matahari. Ada kesegaran terasa menghirup udara pagi yang masih steril dari polusi lalu beranjak ke kamar mandi membasahi tubuh. Dingin, segar menjalar mengaktifkan neuron sensori lalu bersiap mengarungi hari. Tidak ada kendala berarti dalam perjalanan kecuali sedikit macet di daerah Rappocini, maklumlah jalan sempit yang digunakan dua arah ditambah ulah sebagian pengendara yang agaknya harus lebih sopan ketika berada di jalan. Sampai di lapangan parkir kutengok jam tanganku 7.30, lumayan 30 menit perjalanan, masih punya waktu 30 menit untuk sekedar bersantai sebelum beraktivitas. Lalu Berjalan gontai dari parkiran menuju bangsal perawatan, sebuah gerbang besar menyambutku, bunyi decit besi beradu terdengar ketika kudorong gerbang itu menandakan besi segagah itupun butuh perhatian. Di balik gerbang, dikiri-kanannya terdapat taman yang hijau dan rindang, sayang harus tercemar oleh jemuran pakaian dan kasur yang berbau pesing. Melangkah masuk, tegel basah dan sedikit becek menyapa. “Baru habis dipel kayaknya” gumamku Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan, beberapa klien sedang berdiri dan memegang jeruji pintu besi dengan pandangan kosong, mirip narapidana yang akan divonis mati oleh pengadilan. Tiba-tiba “Astaghfirullah…” dua orang klien perempuan mondar-mandi dalam ruangan itu tanpa memakai atasan dan bawahan, cuek, seperti tidak peduli dengan yang ada disekitarya. Saya buru-buru menoleh lalu bergegas keluar. “Ya Allah… hari ini kumulai hari dengan optimisme tinggi berharap hari ini lebih baik dari kemarin, tapi belum apa-apa pemandangan seperti itu sudah menyambutku” “Gimana saya menjaga hati kalau terus seperti ini?” desahku Masih asik menerawang tiba-tiba sebuah suara memanggilku “Selamat pagi kak” “Selamat pagi” refleks aku menoleh ke arah suara tadi “Eh Reni, segar sekali kelihatannnya “ “Iya kak, saya sudah mandi, sudah sikat gigi, sudah pake sampo dan sudah mencuci” ucapnya dengan gaya yang manja seperti anak-anak “Bagus dong kalau kayak gitu” ujarku memuji Reni adalah klien kelolaanku, anak ini sudah mendingan dibandingkan yang lain, makanya lebih bebas berkeliaran. Usianya baru 16 tahun namun sudah termasuk penghuni lama di rumah sakit ini. Dia ditemukan dijalan oleh pamong praja. Jika ditanya tentang keluarganya dia akan diam lalu dengan lirih menjawab “Saya tidak suka melihat orang tua saya bertengkar” Masih larut dalam khayalanku, Reni kembali bertanya “Besok masih jaga kan kak?” Aku terdiam, keakrabanku dengannya membuatku susah untuk berterus terang. “Besok masih kesini kan?” kembali di mengulang pertanyaannya Kutatap mata anak itu lekat “Tidak Reni” “Ini hari terakhir kakak disini dan besok sudah pindah kebagian lain” ujarku mendesah Mata Reni berkaca-kaca “Baik-baik ya selama disini” pesanku “Iya kak jawabnya lirih” Kuseret langkahku menuju gerbang, sejenak berbalik kebelakang, sebuah tulisan jelas terpampang “KENANGA”. Selamat tinggal kenanga, Aku akan tetap mengenangmu sebagai liku kehidupan yang pernah kulewati dan mengajariku satu hal. Mensyukuri apa yang diberikan Allah dan menghargai mahluk ciptaannya

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar