Lelaki yang menangis...
Setelah berjuang sebulan penuh mengejar deadline ujian skripsi. Mulai dari perbaikan proposal, penelitian, analisa data, konsul pembimbing, ujian hasil lalu perbaikan lagi, betul-betul menguras energy dan waktu. Fiuhh… idul adha ini akhirnya saya pulang kampung juga,
Walaupun sebenarnya jarak rumah dengan kampus, yah… gak jauh-jauh amat untuk ukuran mahasiswa pendatang. Memang sih dari kabupaten berbeda tapi Cuma ditempuh selama tiga puluh menit dengan memakai angkutan umum, namun disitulah masalahnya, harus tiga kali ganti angkot jadinya energy kebanyakan terkuras di angkot belum lagi sewa yang lumayan mahal, akhirnya saya memutuskan untuk indekos.
Pulang kampung kali ini pokoknya saya ingin istirahat total!! Begitu yang kutanamkan dalam-dalam. Sejenak melupakan beban kampus, sebelum akhirnya ketemu beban lebih berat di klinik . Di kampung kesempatan birrul walidain dengan bunda tercinta lebih besar, silaturahim dengan tetangga, melepas rindu dengan ponakan dan bersua dengan pohon mangga depan rumah (maksudnya makan mangga!!).
Eh… Di rumah, malah banyak kerjaan yang menunggu. Maklum Sebagai anak lelaki terakhir yang tinggal di rumah karena kakak lelaki merantau semua, artinya semua kerjaan yang sifatnya fisik akan dialamatkan ke saya. Mulai dari ngantar ibu ngajar, ngisi ulang galon, angkat beras sampai jagain api buras agar tidak padam belum lagi ponakan yang terus ngajak main, jadinya istirahat totalnya Cuma jadi angan-angan.
Lagi asik baca cerpen (waktu nungguin buras), azan maghrib berkumandang.
“Bu saya ke mesjid dulu ya” ujarku pamit
Setelah berjalan lima menit, Alhamdulillah sampai di Mesjid masih dapat sholat sunnah sampai Pak imam datang. Di mesjid kondisinya sudah berubah, catnya sudah baru, dindingnya sudah di dekorasi, atapnya sudah tidak bolong bahkan statusnya pun berubah menjadi mesjid kecamatan, Cuma satu yang kekal… jamaahnya segitu-gitu aja. Penghuni Mesjid ku sayang tidak sampai satu shaf itupun dengan jamaah yang sudah bau tanah,
“Kemana anak mudanya?” gumamku
“Oo…baru ingat, tadi saya lewati kumpulan anak muda yang nongkrong di rental PS, di pos ronda main gitar gangguin cewek lewat. Sungguh komunitas tidak produktif, kapan Indonesia bisa maju? Kapan Islam akan jaya kalau generasi mudanya kayak gini?”
Lagi asik-asik menerawang tahu-tahu Pak Imam sudah berdiri di mihrab seraya berujar
“Shaf diluruskan dan dirapatkan, lurus dan rapatnya shaf termasuk kesempurnaan shalat”
Saya kemudian mengambil baris paling pinggir lalu merapatkan shaf dengan pak tua di samping saya. Tapi anehnya… pak tua tadi menatap tajam lalu kemudian menarik kakinya.
“Kok kayak gini ya tatapan nih bapak?, salah saya apa?” sambil kembali merapatkan kaki dengan si Bapak
“JANGAN DISENTUH !!” tiba-tiba suara pak Tua meninggi
Sontak semua jamaah menoleh kearah kami
“Shafnya dirapatkan pak” ujarku kesal
“SAYA TAHU, TAPI SAYA TIDAK SUKA DISENTUH-SENTUH” ketusnya lagi
Pak imam memberi isyarat dengan dengan matanya.
“Ok saya ngalah…” masih belum ikhlas
Pak imam sudah memulai takbiratul ihram saat saya masih meng”scan” pak tua tadi.
“Bapak ini termasuk jamaah yang rajin ke mesjid, Lima waktu selalu di “Baitullah”, selalu lengkap dengan kacamata tebal, safari dan sajadahnya. Pensiunan PNS, mungkin terkena post power syndrome kali ya, makanya tidak mau menerima saran, mungkin pak tua ini harusnya tarbiyah”. Asik menggumam membangun persepsi sendiri.
Sampai berlalu rakaat pertama kemudian sayup-sayup terdengar isak tangis. Isak yang semakin lama-semakin nyaring, isak pak tua yang berdiri tepat disebelahku.
“ASTAGFIRULLAH !!” apa yang telah kulakukan
Sesaat sebelumnya saya masih asik berprasangka terhadap bapak tadi bahwa saya anak tarbiyahan, bahwa dia terkena post power syndrome ternyata saya tidak lebih baik dari dia.
Bahwa meluruskan dan merapatkan shaf adalah sebuah keutamaan, tetapi bukankah menangis dalam sholat adalah sebuah pengalaman spiritual yang luar biasa?
Hanya orang tertentu saja yang mampu meneteskan air mata ketika ayat Allah dibacakan, yang bergetar hatinya dan semakin bertambah keimanannya ketika disebut asma Allah dan bapak tua ini termasuk di dalamnya, sedangkan aku? Hanya karena rutin ke mesjid dan tertarbiyah saya sudah sombong dan membanggakan diri meskipun itu dalam hati….
“Ya Allah… ampuni hambamu yang lemah ini, terimakasih engkau telah menegurku dengan cara-Mu”
“Ya Allah… jadikanlah hamba tidak tinggi hati dan merasa lebih dibandingkan yang lain karena sesungguhnya sifat Besar hanyalah milikmu”
“Ya Allah… jadikanlah ikhlas ibadah hamba hanya untukmu dan bukan karena apa dan ingin dilihat siapa”
Ya Robbi… hamba telah menzalimi diri kami sendiri, jika engkau tidak memaafkan kami, sesungguhnya kami adalah orang yang merugi…”
Catatan pulang kampung yang berkesan
Tamalanrea, 131208
Currently have 0 komentar: